phaus.org – Bhinneka Tunggal Ika: Kalimat Kuno yang Menyatukan Nusantara! Jauh sebelum internet merajalela dan medsos jadi panggung utama, leluhur kita udah punya satu kalimat pamungkas yang bisa ngeredam beda dan nyatuin hati. Yup, Bhinneka Tunggal Ika. Kalimat ini bukan cuma sekadar ucapan sakral dari zaman Majapahit, tapi juga simbol kuat yang masih nempel di dada setiap warga Indonesia sampai sekarang. Lantas, kenapa sih kalimat kuno ini bisa tahan banting dan tetap relevan dari masa ke masa? Langsung saja kita bongkar rahasianya!

Dari Aksara Lama ke Arah Masa Depan Bhinneka Tunggal Ika

Gak sedikit orang yang tahu kalau Bhinneka Tunggal Ika pertama kali muncul dalam Kakawin Sutasoma, karya sastra gubahan Mpu Tantular. Di zaman itu, perbedaan bukan cuma soal bahasa atau daerah, tapi juga keyakinan. Tapi justru dari perbedaan itulah, muncul pemikiran gila yang akhirnya melahirkan kalimat pemersatu ini.

Bayangin aja, di tengah segala konflik dan perang pengaruh, ada satu orang yang berani bilang, “Beda itu biasa, tapi kita tetap satu.” Itu bukan cuma berani, tapi juga keren maksimal. Dan nyatanya, kalimat ini jadi fondasi kuat buat menyatukan bangsa kepulauan yang nggak cuma luas, tapi juga super beragam.

Kalimat Kuno, Semangat yang Tetap Muda

Meskipun kalimatnya dari abad 14, semangat di balik Simbolis ini tetap segar sampai hari ini. Setiap generasi punya caranya masing-masing buat menafsirkannya, tapi esensinya gak pernah berubah. Dari siswa sekolah sampai tokoh negara, semua masih angkat kalimat ini sebagai simbol persatuan.

Jadi bisa dibilang, kalimat ini ibarat playlist abadi yang gak pernah ketinggalan zaman. Mau kamu hidup di era Majapahit atau scrolling TikTok sekarang, semangatnya masih relate dan ngena banget.

Lihat Juga :  Sejarah Instrumen Musik: Dari Bunyi Purba ke Harmoni Modern

Bhinneka Tunggal Ika Hidup Berdampingan Bukan Cuma Wacana

Bhinneka Tunggal Ika: Kalimat Kuno yang Menyatukan Nusantara!

Kalau kamu jalan-jalan ke pasar tradisional, nongkrong di warung kopi, atau sekadar duduk di halte kota besar, kamu bakal lihat sendiri wujud nyata dari Simbolis ini. Orang beda logat, beda warna kulit, beda selera makanan tapi tetap bisa ngobrol, senyum, dan bantu satu sama lain.

Inilah bukti nyata kalau Bhinneka Tunggal Ika bukan cuma untuk ditulis di buku pelajaran. Tapi juga dijalani. Bahkan tanpa sadar, kita udah jadi bagian dari kalimat itu sejak lahir.

Toleransi Gak Harus Serius, Bisa Juga Santai

Kadang orang pikir toleransi itu berat, formal, atau kaku. Padahal kenyataannya, bisa dimulai dari hal receh. Misalnya, kamu tetap ngajak makan bareng teman yang gak bisa makan daging, atau kamu tetap ikut nyanyi di pesta padahal lagunya bukan genre kamu. Nah, hal-hal kecil itu, kalau dikumpulin, jadi bukti kalau semangat Simbolis ini masih nempel kuat di kehidupan kita.

Dan justru karena hal-hal santai kayak gitu, kalimat ini makin terasa hidup dan natural, bukan cuma tempelan di lambang negara.

Kesimpulan

Kalimat Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar warisan dari masa lalu, tapi juga panduan keren buat masa depan. Dengan segala perbedaan yang ada, dari ujung Aceh sampai Papua, kalimat ini berhasil ngelem kita jadi satu. Gak peduli kamu pakai bahasa apa, makanannya apa, atau gaya hidupnya kayak gimana, kita tetap bisa bareng-bareng berdiri di bawah satu langit yang sama. Jadi, saat dunia makin ribut soal perbedaan, kita tinggal senyum dan bilang, “Tenang bro, kita kan Bhinneka Tunggal Ika.”